Asal-usul Nama Dusun Kalipanggang

Di antara perbukitan yang tenang dan hamparan sawah yang membentang luas di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, tersembunyi sebuah dusun yang namanya tak asing di telinga masyarakat sekitar: Kalipanggang. Bagi orang luar, nama itu mungkin terdengar aneh, bahkan lucu. Namun, bagi warga setempat, nama itu sarat makna. Ia tak sekadar sebutan, tetapi juga suatu ingatan yang hidup: tentang air, tentang kebiasaan lama, dan tentang cara manusia menghormati alam.

Di tengah-tengah Dusun Kalipanggang, terdapat sebuah sendang, ya mata air alami yang menjadi nadi kehidupan warga sejak dahulu kala. Airnya jernih, keluar dari celah bebatuan, mengalir pelan dan sabar, seolah-olah memahami kebutuhan manusia yang menggantungkan hidup kepadanya. Di sanalah warga mengambil air untuk minum, mencuci, menyiram tanaman, bahkan untuk bersesuci. Begitulah, sendang itu tak sekadar sumber air, tapi juga bagian dari roh dusun itu sendiri.

Namun, air dari sendang tidak mengalir sembarangan. Ada satu hal yang selalu diingat oleh orang-orang tua di dusun itu: air dari sendang hanya akan keluar jika sendang dibersihkan dan diberi sesaji. Bukan sembarang sesaji, melainkan ayam panggang. Inilah inti dari tradisi yang hingga kini masih dijaga, tradisi yang memberi nama bagi dusun ini: Kali (aliran air) dan Panggang (ayam panggang).

Setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, warga secara turun-menurun melaksanakan tradisi pembersihan sendang. Pada hari-hari itulah, sejak pagi hari, beberapa warga berkumpul membawa peralatan sederhana: sapu lidi, ember, dan tampah berisi sesaji. Mereka membersihkan dasar sendang dari dedaunan yang gugur dan lumpur, menyikat batu-batu besar yang licin, dan merapikan sekelilingnya. Tak ada kemeriahan atau bunyi-bunyian. Yang terdengar hanya suara air yang bergolak pelan dan obrolan lirih antarwarga yang sudah saling mengenal sejak kecil.

Setelah sendang dibersihkan, ayam panggang yang sudah dipersiapkan secara khusus akan diletakkan di tepi sendang, bersama kembang setaman dan kendi berisi air. Tak banyak yang tahu siapa yang kali pertama memulai kebiasaan ini, namun satu hal yang diyakini oleh semua warga: jika ayam panggang tidak diberikan, air dari sendang tidak akan keluar.

Banyak kisah diceritakan oleh orang-orang tua tentang saat-saat ketika warga lupa atau lalai menjalankan tradisi ini. Mereka menceritakan bagaimana suatu kali air sendang berhenti mengalir begitu saja. Tak ada hujan, tak ada longsor, tapi dasar sendang kering kerontang. Setelah diperiksa, barulah disadari bahwa pada pembersihan sebelumnya, sesaji ayam panggang tak disiapkan. Sejak saat itu, warga makin yakin bahwa ada aturan halus yang tak boleh dilanggar—aturan yang tidak tertulis, tapi selalu ditaati.

Dari tradisi itulah nama Kalipanggang lahir. Nama itu menyatukan dua unsur penting dalam kehidupan warga: air dan sesaji. Tidak ada yang memutuskan secara resmi kapan nama itu mulai digunakan. Seperti tradisi pembersihan sendang itu sendiri, nama Kalipanggang lahir dari kebiasaan, dari kebersamaan, dan dari keyakinan yang diwariskan secara lisan, pelan-pelan namun tak pernah putus.

Kini, meski zaman telah berubah, dan anak-anak muda mulai mengenal dunia lewat layar ponsel, tradisi itu tetap hidup. Mungkin tak semua anak muda memahami sepenuhnya makna di balik ayam panggang itu. Namun mereka tetap datang setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, ikut membersihkan, ikut meletakkan sesaji, dan dengan diam-diam belajar dari cara orang tua mereka menghormati alam.

Bagi warga Kalipanggang, sendang bukan hanya sumber air—ia adalah warisan, dan tradisi bukan sekadar adat—ia adalah pengingat. Bahwa segala sesuatu yang memberi kehidupan harus dihormati. Bahwa ada keseimbangan yang harus dijaga. Dan bahwa dari air dan sesaji, lahirlah nama dusun mereka: Kalipanggang.(*)

Oleh Muhammad Sa’daika Quthbi