Kisah Kali Bathang

Di Dusun Tosaren, Desa Kradenan, Kecamatan Srumbung, terdapat sebuah sungai yang dikenal dengan nama Bathang. Nama ini memiliki asal usul yang cukup tragis, bermula dari peristiwa alam yang mengguncang daerah tersebut. Kali Bathang bukan hanya sekadar aliran air, tetapi juga menyimpan cerita kelam yang menjadi bagian dari sejarah masyarakat setempat, akan tetapi kejadian ini tidak membuat masyarakat setempat menjadi takut atau enggan datang ke sungai ini untuk berkegiatan.

Kejadian yang melatarbelakangi nama Kali Bathang terjadi ketika Gunung Merapi meletus dan mengeluarkan lahar dingin. Lahar tersebut mengalir deras, membawa serta segala sesuatu yang ada di jalurnya termasuk makhluk hidup seperti hewan dan manusianya. Dalam sekejap, sungai yang dulunya tenang berubah menjadi arus yang sangat kuat dan berbahaya. Banyak warga yang tidak sempat menyelamatkan diri, terjebak dalam derasnya aliran lahar.

Ketika lahar dingin itu meluap, banyak orang yang terbawa arus. Mereka berusaha untuk bertahan, namun arus yang begitu besar membuat mereka tak berdaya. Dalam keadaan panik dan ketakutan, banyak yang akhirnya hilang, dan hanya menyisakan kenangan menyakitkan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dari sinilah muncul istilah “bathang” yang berarti “bangkai” dalam bahasa setempat, karena banyaknya bangkai manusia dan hewan yang meninggal terbawa arus lahar dingin.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Dusun Tosaren mulai mengenang peristiwa tersebut dengan cara yang berbeda. Mereka tidak hanya melihatnya sebagai bencana, tetapi juga sebagai pelajaran berharga tentang kekuatan alam. Kali Bathang menjadi simbol ketahanan dan keberanian masyarakat dalam menghadapi cobaan, sehingga masyarakat Dusun Tosaren mempelajari tanda-tanda munculnya kejadian tersebut untuk menghindari akibat yang sama dan pahit itu terulang.

Di tengah aliran Kali Bathang, terdapat sebuah batu besar yang dikenal dengan nama Mbahnggolo. Batu ini konon merupakan bagian dari lahar yang mengalir saat peristiwa tersebut. Mbahnggolo memiliki ukuran yang sangat besar dan tidak dapat dipindahkan hingga saat ini. Masyarakat percaya bahwa batu ini menyimpan kekuatan dan menjadi penanda sejarah yang tak terlupakan. Sudah berbagai cara yang dilakukan masyarakat sekitar untuk memindahkan Mbahnggolo mulai dari membelahnya, mengangkatnya dengan alat berat, bahkan menghancurkannya. Namun usaha tersebut sia-sia.

Setiap tahun, masyarakat Dusun Tosaren mengadakan ritual untuk mengenang para korban yang hilang dalam peristiwa tersebut. Mereka berkumpul di tepi Kali Bathang, berdoa, dan mengingat kembali nama-nama yang telah pergi. Ritual ini menjadi momen refleksi dan penghormatan bagi mereka yang pernah terjebak dalam arus lahar.

Kali Bathang juga menjadi tempat bagi para pemuda untuk belajar tentang pentingnya menjaga lingkungan. Mereka diajarkan untuk tidak merusak alam dan memahami betapa besar dampak yang bisa ditimbulkan oleh bencana alam. Dengan demikian, generasi muda diharapkan dapat lebih bijak dalam menghadapi tantangan yang ada.

Kehidupan di sekitar Kali Bathang tidak lepas dari tantangan. Masyarakat harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam lainnya. Namun, mereka tetap optimis dan saling mendukung satu sama lain. Semangat gotong royong menjadi kunci dalam menghadapi segala rintangan yang ada.

Kali Bathang bukan hanya sekadar aliran air, tetapi juga menjadi bagian dari identitas masyarakat Dusun Tosaren. Nama dan sejarahnya akan terus dikenang dan diceritakan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga berusaha untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Dalam setiap air yang mengalir di Kali Bathang, tersimpan kisah-kisah kehidupan, harapan, dan perjuangan masyarakat terdahulu yang terbawa arus Lahar Dingin. Masyarakat Dusun Tosaren berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan warisan sejarah ini, agar tidak terlupakan oleh waktu. Mereka percaya bahwa dari setiap bencana, selalu ada hikmah yang bisa diambil.

Dengan semangat yang kuat, masyarakat Dusun Tosaren terus berusaha untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Kali Bathang menjadi saksi bisu dari perjalanan mereka, mengingatkan akan pentingnya menjaga alam dan menghargai setiap kehidupan. Sejarah yang kelam kini menjadi motivasi untuk terus melangkah maju, dengan harapan akan masa depan yang lebih cerah. (*)

Oleh Danisa Febrianasari