Sekilas tentang Pabrik Gula GMP

Aku dibesarkan di sebuah kawasan perkebunan tebu bernama Gunung Madu, di Lampung. Sejak kecil aku sering mendengar gilingan tebu dan mencium aroma manis dari pabrik gula. Ayahku bekerja di pengisi bahan bakar solar untuk mobil-mobil angkutan tebu yang dibawa ke pabriknya, sementara ibuku hanya sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi kami. Suasana perkebunan yang hijau, tenang, dan sangar luas itu menjadi sangat nyaman pada kehidupanku sehari hari.

Setiap pagi aku bangun dengan pemandangan hamparan hijau batang tebu yang berjajar rapi seperti barisan pasukan. Matahari pagi menyinari ladang dan menimbulkan kabut tipis yang perlahan memudar seiring waktu. Aku sering ikut ayah ke lapangan saat libur sekolah. Ia mengajarkanku mengenali umur batang tebu, cara menebaknya dari warna dan ketinggiannya, dan terkadang ayahku juga mengambil beberapa batang tebu untuk langsung dimakan bersama.

Di dekat rumahku, ada sebuah sungai kecil yang mengalir melewati perkebunan. Sungai itu menjadi tempat bermain favoritku bersama teman-teman. Kami mencari ikan kecil, bahkan membuat perahu dari pelepah pisang dan mengadu siapa yang paling cepat sampai ke ujung aliran. Kadang-kadang, kami juga menyusuri pematang sawah menuju area tebu yang sedang dipanen, berharap bisa mendapatkan potongan batang tebu untuk dikunyah.

Aku ingat suatu hari, aku dan teman-temanku nekat masuk ke area pabrik, penasaran melihat proses pengolahan tebu. Kami hanya melihat dari kejauhan, melihat truk-truk besar membawa tumpukan tebu, dan suara mesin menggema di seluruh kompleks.

Kami tertangkap satpam dan dimarahi karena memang di situ area yang cukup berbahaya untuk seumuran kami. Namun aku semakin kagum pada tempat tinggal kami tempat yang tak hanya menghasilkan gula, tapi juga kenangan manis masa kecil.

Hari-hari di sekolah dasar juga tak jauh dari suasana perkebunan. Banyak anak teman sepermainanku adalah anak karyawan atau petani mitra. Kami sering membicarakan soal panen tebu, traktor besar, atau bahkan hasil lomba antarkelompok tani. Sekolah kami kadang menerima bantuan dari perusahaan, seperti buku, alat tulis, dan fasilitas taman bermain. Kami merasa bangga menjadi bagian dari keluarga besar Gunung Madu.

Ketika musim panen tiba, suasana menjadi lebih sibuk dan meriah. Jalanan dipenuhi truk bermuatan penuh. Di malam hari, lampu-lampu pabrik menyala terang, menciptakan pemandangan yang indah sekaligus misterius. Aku sering duduk di beranda rumah, mendengarkan cerita ayah tentang bagaimana awal pabrik itu dimulai dan betapa kerasnya usaha usaha yang dihasilkan oleh para pekerja dan pemimpin yang ada disitu. Cerita-cerita itu menginspirasiku untuk bermimpi besar.

Ibuku pun sering bercerita bahwa Gunung Madu dulunya adalah lahan kosong dan semak belukar sebelum menjadi kawasan industri dan permukiman seperti sekarang. Ia menyaksikan perubahan itu secara langsung, bagaimana kampung kecil kami perlahan tumbuh menjadi komunitas yang terorganisir dengan baik. Ia selalu mengajarkanku untuk menghargai sejarah tempat kami tinggal, karena tanah ini dalah saksi kerja keras banyak orang.

Pada akhir pekan, aku dan teman-temanku suka bersepeda menyusuri jalan setapak di tengah kebun. Angin sejuk menerpa wajah, dan kami bisa melihat para pekerja memanen tebu atau memeriksa lahan. Kadang-kadang kami berhenti di kios kecil untuk membeli es tebu segar, yang rasanya luar biasa enak terutama saat cuaca panas.

Itu adalah momen sederhana, tapi begitu membahagiakan.

Kini, setelah aku tumbuh dewasa dan merantau ke kota luar pulau untuk kuliah, kenangan di Gunung Madu tetap melekat erat di hati. Tiap kali aku melihat bungkus gula yang bertulis GMP atau mendengar cerita tentang industri gula, pikiranku langsung kembali ke masa kecil yang penuh warna itu. Aku merasa beruntung tumbuh di tempat yang bukan hanya subur secara alam, tapi juga kaya akan nilai kehidupan.

Gunung Madu bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah bagian dari jati diriku, tempat aku mengenal kerja keras, kebersamaan, dan kesederhanaan. Banyak nilai yang kupelajari dari lingkungan itu, yang kini menjadi bekal dalam perjalananku. Suatu hari nanti, aku ingin kembali, membawa anak-anakku menyusuri kebun seperti yang dulu pernah kulakukan.(*)

Oleh Muhammad Raihan Faruqi