Asal-usul Kabupaten Temanggung Jawa Tengah

Aku masih ingat aroma kopi yang menguar dari dapur kayu nenekku, di sebuah desa kecil di kaki Gunung Sumbing. Di sanalah aku menghabiskan masa kecilku, Temanggung, sebuah kabupaten berhawa sejuk yang dulu hanya kupahami sebagai rumah dan tempat pulang. Tapi siapa sangka, tanah tempatku tumbuh ternyata menyimpan sejarah panjang yang berjejak hingga abad ke-9, saat Mataram Kuno berdiri di tanah Jawa.

Sejarah ini dimulai ketika ditemukannya penemuan Prasasti Wanua Tengah III. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1983 di Dusun Dunglo, Desa Gandulan, Kecamatan Kaloran, dan berasal dari tahun 908 Masehi (abad ke-10). Prasasti ini ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan menggunakan bahasa Sanskerta. Dalam prasasti tersebut, disebutkan bahwa wilayah yang kini menjadi Temanggung dulunya merupakan suatu wilayah kademangan gemah ripah loh jinawi yang dipimpin oleh seorang demang. Wilayah ini termasuk dalam lingkup kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno, dan salah satu desa yang disebutkan dalam prasasti adalah Pikatan. Nama Pikatan sendiri dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah yang berada pada sumber mata air di desa Mudal Kecamatan Temanggung.

Salah satu tokoh penting dalam sejarah Temanggung yaitu Rakai Pikatan, seorang raja dari Dinasti Sanjaya dalam Kerajaan Mataram Kuno. Rakai Pikatan dikenal sebagai raja yang cerdas dan strategis. Ia menikah dengan Pramodawardhani, seorang putri dari Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha, untuk menyatukan dua dinasti besar yaitu Sanjaya (Hindu) dan Syailendra (Buddha). Ini adalah langkah diplomatis yang sangat cerdas untuk menyatukan dua kekuatan besar di Jawa Tengah saat itu. Namun, pernikahan ini tidak sepenuhnya menghapuskan konflik kekuasaan. Dengan dukungan pasukan dan kekuatan dari para demang dan senapati, Rakai Pikatan melancarkan serangan terhadap pihak-pihak yang masih setia pada Dinasti Syailendra. Dalam salah satu kisah yang berkembang, Rakai Pikatan dibantu oleh seorang demang yang sangat berpengaruh, yaitu Demang Gong.

Demang Gong dikenal sebagai sosok kuat dan memiliki wilayah yang luas. Wilayah kekuasaannya mencakup sebagian besar dataran tinggi di bawah kaki Gunung Sindoro dan Sumbing. Oleh karena itulah, wilayah yang dipimpin para demang ini disebut sebagai “kademangan”, dan pusat pemerintahan lokalnya disebut “ndemanggung”. Nama Temanggung diyakini berasal dari kata “ndemanggung” yang merujuk pada jabatan seorang demang dan status wilayahnya sebagai kademangan. Dalam bahasa Jawa, akhiran “-ng” sering digunakan dalam perubahan kata atau penamaan tempat. Seiring waktu, pengucapan kata “ndemanggung” berubah menjadi “Temanggung”. Proses perubahan fonetik ini lumrah dalam perkembangan bahasa lisan di masyarakat Jawa.

Setelah era Mataram Kuno berakhir, wilayah Temanggung tetap menjadi daerah penting dalam peta sejarah Jawa. Saat masa kolonial Belanda, Temanggung menjadi salah satu daerah penghasil kopi dan tembakau utama. Pemerintah kolonial mendirikan perkebunan besar dan stasiun kereta api di Parakan dan Temanggung kota untuk mengangkut hasil bumi ke pelabuhan. Pada masa kemerdekaan, Temanggung berkembang menjadi kabupaten dengan struktur pemerintahan sendiri. Hari jadi Kabupaten Temanggung diperingati setiap tanggal 10 November 1834, berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menetapkan Temanggung sebagai wilayah administrasi kabupaten. Sejarah asal muasal wilayah lain disekitar Temanggung juga berkaitan dengan asal muasal tahta Rakai Pikatan. Jika dikaitkan dengan prasasti Gondosuli wilayah Kecamatan Temanggung memanjang ke barat sampai kecamatan Bulu dan seterusnya.Pengganti raja Sanjaya adalah Rakai Panangkaran yang naik takhta pada tanggal 27 November 746 M dan bertakhta selama kurang lebih 38 tahun. Dalam legenda Angling Dharma, keratin diperkirakan berada di daerah Kedu. Di wilayah Kedu juga ditemukan desa Kademangan. Pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan yang naik takhta pada tanggal 1 april 784 dan berakhir pada tanggal 28 Maret 803. Rakai Panunggalan bertakhta di Panaraban yang sekarang merupakan wilayah Parakan. Dan Bulu. Selanjutnya Rakai Panunggalan digantikan oleh Rakai Warak yang diperkirakan tinggal di Tembarak. Pengganti Rakai Warak adalah Rakai Garung yang bertakhta pada tanggal 24 Januari 828 sampai dengan 22 Februari 847. Raja ini ahli dalam bangunan candi dan ilmu falak (perbintangan). Kemudian Rakai Garung diganti Rakai Pikatan yang bermukim di Temanggung. Di sini ditemukan Prasasti Tlasri dan Wanua Tengah III yang sudah disebutkan diatas sebagai awal terbentuknya Temanggung. Penemuan-penemuan arkeologis seperti prasasti, reruntuhan candi, hingga artefak kuno yang tersebar di wilayah Temanggung menjadi bukti bahwa daerah ini bukan hanya kaya akan alam, tetapi juga sejarah yang mendalam. Dari masa Rakai Panangkaran hingga Rakai Pikatan, Temanggung menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban Mataram Kuno. Jejak-jejak itu kini tak hanya menjadi bahan pembelajaran sejarah, tetapi juga pengingat bahwa tanah yang kita pijak pernah menjadi pusat kejayaan, tempat lahirnya budaya, dan warisan yang patut dijaga untuk generasi mendatang. Temanggung bukan sekadar kabupaten di lereng gunung, melainkan sebuah bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang peradaban Jawa yang terus hidup dalam setiap sudut tanahnya.(*)

Oleh Naila Auraningtyas