Dahulu kala, di sebuah lembah yang subur di kaki Gunung Merbabu, terdapat sebuah wilayah yang belum bernama. Wilayah tersebut dikelilingi sawah hijau yang luas, sungai yang jernih, dan hutan kecil tempat burung-burung berkicau setiap pagi. Sekelompok masyarakat yang tinggal di sana, sangat menjaga nilai-nilai budaya Jawa. Mereka hidup sederhana, rukun, dan saling tolong-menolong satu sama lain. Tidak ada kerajaan atau penguasa besar di wilayah itu, melainkan dipimpin oleh seorang sesepuh desa yang bijaksana bernama Ki Jatmiko.
Masyarakat di wilayah ini memiliki kebiasaan unik yang membedakan mereka dari desa-desa lain di sekitarnya. Setiap pria, baik muda maupun tua, selalu mengenakan blangkon, sejenis penutup kepala tradisional Jawa yang terbuat dari kain batik. Bahkan anak-anak kecil pun terbiasa mengenakan blangkon kecil yang dibuat oleh ibu mereka. Tidak hanya saat ada acara adat, melainkan juga dalam keseharian seperti bertani, berdagang, atau sekadar duduk di serambi rumah.
Tidak hanya itu, rumah-rumah di wilayah ini dibangun dalam bentuk rumah Joglo, rumah adat khas Jawa yang penuh makna filosofi. Setiap rumah selalu menghadap ke arah timur, arah matahari terbit sebagai simbol keterbukaan dan harapan. Para lelaki mengenakan kain lurik dan jarik, sedangkan para perempuan memakai kebaya dan konde. Sandal yang mereka gunakan pun sederhana, terbuat dari kayu dan kulit, yang biasa disebut dengan “sandal opah”.
Saat musim tanam tiba, semua warga bergotong-royong menanam padi bersama. Saat musim panen datang, mereka menggelar syukuran desa yang meriah, lengkap dengan pertunjukan wayang kulit dan gamelan. Tidak ada warga yang kelaparan atau merasa sendiri. Jiwa kebersamaan dan kekeluargaan sangat kental terasa di antara mereka. Setiap malam Jumat Kliwon, warga mengadakan kenduri bersama di pendapa desa. Mereka memasak nasi tumpeng, sayur lodeh, dan berbagai jajanan tradisional untuk disantap bersama. Anak-anak kecil duduk mendengarkan dongeng dari para sesepuh, sementara orang dewasa berdiskusi tentang pertanian dan adat istiadat. Dari kegiatan inilah, nilai gotong-royong dan rasa hormat kepada yang lebih tua terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada suatu malam, Ki Jatmiko mengadakan pertemuan besar di pendopo desa. Ia merasa bahwa wilayah mereka yang makmur dan damai ini sudah saatnya diberi nama, agar dikenal oleh dunia luar. Dalam pertemuan itu, para warga saling mengusulkan berbagai nama, tetapi tidak ada yang dirasa benar-benar mencerminkan jati diri mereka. Tiba-tiba, seorang pemuda bernama Sastro mengangkat tangan dan berkata, “Mengapa tidak kita beri nama ‘Blangkonan’, Ki? Karena kita semua selalu menggunakan blangkon. Ini adalah ciri khas desa kita yang tidak dimiliki desa lain”.
Semua warga terdiam sejenak dan saling berpandangan. Mereka menyadari bahwa apa yang dikatakan Sastro memang benar. Blangkon bukan hanya pakaian, melainkan simbol kehidupan mereka. Sebuah penanda identitas yang telah mengikat mereka dalam satu kebudayaan yang utuh. Ki Jatmiko tersenyum lebar dan mengangguk. “Blangkonan… Nama yang sederhana namun bermakna. Tempat dimana blangkon menjadi bagian dari kehidupan.”
Sejak saat itu, wilayah tersebut dikenal dengan nama “Blangkonan”. Namun, seiring berjalannya waktu dan pengaruh logat daerah sekitarnya, pelafalan nama itu berubah menjadi “Blangkunan”. Nama ini pun kemudian diresmikan sebagai nama desa yang tercatat dalam pemerintahan kabupaten. Masyarakat Blangkunan juga memiliki pepatah lokal yang sering diucapkan oleh para orang tua: “Wong Blangkunan, aja lali blangkone.” Artinya, orang Blangkunan jangan lupa identitasnya.
Desa Blangkunan berkembang menjadi desa yang dikenal oleh banyak orang. Para pendatang sering datang untuk belajar mengenai budaya dan adat Jawa dari warga setempat. Bahkan beberapa mahasiswa dari kota besar datang untuk meneliti tentang struktur sosial dan filosofi hidup masyarakat Blangkunan. Untuk mengenang asal-usul nama desa, setiap tahun warga mengadakan Festival Blangkon. Dalam festival ini, warga mengenakan pakaian adat lengkap, menggelar kirab budaya, dan menampilkan kesenian daerah seperti jathilan, ketoprak, dan tarian tradisional. Festival ini juga menjadi ajang untuk mempererat tali silaturahmi antar warga dan menarik wisatawan lokal.
Cerita tentang asal-usul nama Blangkunan tidak hanya menjadi sejarah lisan, tetapi juga menjadi bahan pelajaran bagi generasi muda desa. Di sekolah, para guru mengajarkan nilai-nilai lokal dan sejarah desa. Hal tersebut menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan.
Kini, Desa Blangkunan terus berkembang meskipun tantangan zaman terus berdatangan. Pada tahun 2010, Gunung Merapi meletus dengan dahsyat dan menyemburkan abu vulkanik ke berbagai wilayah, termasuk Blangkunan. Selama hampir satu bulan, desa Blangkunan diselimuti abu tebal. Dari musibah tersebut, beberapa warga memanfaatkan hasil dari letusan Gunung Merapi sebagai mata pencaharian baru. Mereka mulai menambang dan menjual material vulkanik tersebut untuk kebutuhan pembangunan. Hasil batu yang ada juga dimanfaatkan dengan memahatnya menjadi patung dan benda-benda bermanfaat lain seperti cobek.
Setelah letusan Gunug Merapi, desa Blangkunan juga kerap dilanda banjir, terutama di kawasan sekitar Kali Belan. Salah satu peristiwa yang paling dikenang adalah saat jembatan desa roboh diterjang banjir besar. Uniknya, masyarakat percaya bahwa penyebab robohnya jembatan bukan hanya karena alam, melainkan karena peristiwa mistis. Konon, ada naga yang melewati sungai dan melilit salah satu penyangga jembatan. Cerita tersebut berasal dari seorang warga bahwa seseorang pernah melihat penampakan naga melilit penyangga kedua. Beberapa hari kemudian, orang tersebut jatuh sakit dan meninggal dunia seminggu setelahnya
Jembatan tersebut juga dibangun dari rel bekas peninggalan Belanda, menjadikannya bagian penting dari sejarah dan warisan fisik Blangkunan. Penyangga pertama jembatan dipercaya sebagai bagian yang keramat, dan hingga kini masih berdiri kokoh. Hanya penyangga kedua yang dibangun ulang. Cerita ini menyebar luas dan menjadi bagian dari legenda desa, menambah aura magis dari Blangkunan. Kini, setiap pembangunan yang dilakukan di sekitar sungai selalu diawali dengan doa bersama dan sesajen sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan makhluk halus yang diyakini menjaga wilayah tersebut.
Menariknya, Kali Belan tampaknya memiliki hubungan gaib dengan Gunung Merapi. Setiap kali Merapi meletus atau bahkan hanya mengalami guncangan kecil, Kali Belan hampir pasti meluap dan menimbulkan banjir. Fenomena ini sudah berlangsung sejak lama dan dipercaya oleh masyarakat sebagai pertanda bahwa alam sedang bergerak. Oleh karena itu, warga Blangkunan selalu waspada setiap kali ada aktivitas vulkanik di Merapi. Mereka meyakini bahwa hubungan antara gunung dan sungai tidak hanya fisik, tetapi juga spiritual. (*)
Oleh Navalsa Arrayan