Kisah Desa Jondang dan Teluk Awur

Setiap bulan Sura, di desa saya selalu ada ziarah ke desa sebelah, desa tersebut adalah Desa Telukawur. Setelah ziarah, biasanya ada juga karnaval yang diadakan di desa  saya yaitu di Desa Jondang. Dari situ saya mulai tertarik mengapa setiap bulan Sura selalu ada acara ziarah ke Desa Telukawur. Selepas melakukan ziarah ke Desa Telukawur dengan rasa penasaran yang sangat menggebu-gebu, saya berlari ke hadapan bapak saya dan meminta beliau untuk menceritakan tentang sejarah Desa Jondang dan Telukawur. Dari cerita yang saya dengar dari bapak saya, sejarah Desa Jondang dan Telukawur adalah sebagai berikut:

Desa Jondang, yang terletak di Kecamatan Kedung, Kabupaten jepara, bukan hanya bagian dari tanah kelahiran R.A. Kartini, tetapi juga menyimpan jejak penting dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Sejarah desa ini berakar pada kisah seorang tokoh Islam dari negeri Romawi, Syech Abdul Aziz, yang perjalanannya penuh warna membentuk cikal bakal dua desa: Jondang dan Telukawur. Menurut kisah yang diwariskan turun-temurun, termasuk melalui Mbah Sanusi, juru kunci makam Syech Jondang, perjalanan Syech Abdul Aziz bermula dari Romawi. Ia melakukan perjalanan jauh hingga singgah di tanah Jawa, lalu menuju Cirebon untuk berguru kepada Sunan Gunung Jati. Setelah menimba ilmu di sana, beliau melanjutkan perjalanan ke Gunung Muria, menemui Sunan Muria. 

Di Gunung Muria, Syech Abdul Aziz berkenalan dengan dua murid perempuan Sunan Muria: Nyai Roro Tegesan dan Nyai Roro Kemuning. Keduanya dikenal cerdas dan salehah. Sunan Muria, melihat kecocokan mereka, berinisiatif menjodohkan Syech Abdul Aziz dengan salah satu muridnya, Nyai Roro Kemuning. Sunan Muria berkata, “Syech Abdul Aziz, menikahlah dengan muridku ini. Bersama-sama kalian bisa menyebarkan kebaikan di tanah Jawa.” 

Syech Abdul Aziz pun menikah dengan Nyai Roro Kemuning. Pernikahan itu bertujuan memperkuat syiar Islam di wilayah Muria dan sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-harinya, selain berdakwah, Syech Abdul Aziz adalah seorang petani. Namun, karena kecantikan Nyai Roro Kemuning, ia kerap pulang ke rumah sebelum pekerjaan ladangnya selesai, semata-mata karena rindu pada istrinya. Setiap hari, Syech Abdul Aziz pergi bertani. Tapi, karena sangat mencintai istrinya, ia sering cepat-cepat pulang ke rumah. Suatu hari, Nyai Roro Kemuning tertawa kecil,

“Kakang, kalau rindu terus pulang, sawahmu tidak selesai! Ini, aku buatkan lukisan wajahku. Bawalah ke ladang supaya tidak cepat kangen.”

Syech Abdul Aziz tersenyum senang. Ia membawa lukisan itu ke sawah setiap hari. Tapi, pada suatu sore, angin kencang berhembus, angin kencang menerbangkan lukisan Nyai Roro Kemuning hingga jatuh di halaman Kerajaan Bodrolangu, yang dipimpin Raja Joko Wongso. Sang raja melihat lukisan itu dan berkata,

“Siapa gadis cantik ini? Aku harus menemukannya dan menikahinya!”

Sang raja pun terpikat oleh kecantikan dalam lukisan tersebut, memerintahkan prajuritnya, termasuk Tunggul Wulung, untuk mencari sosok wanita itu dan membawanya ke istana. Nyai Roro Kemuning akhirnya ditemukan dan dibawa ke kerajaan. Syech Abdul Aziz, yang menyadari kehilangan istrinya, Syech Abdul Aziz sangat sedih. Ia berdoa dan berpikir keras. Syech Abdul Aziz berkelana mencari istrinya sambil memainkan kentrung dan menyanyi, hingga akhirnya suaranya terdengar oleh Nyai Roro Kemuning di istana. Lalu ia menemui raja dan berkata menuntut dua syarat kepada Raja Joko Wongso jika ingin memperistri Nyai Roro Kemuning. Syech Abdul Aziz lalu berkata, ”Kalau kau ingin menikahi istriku, penuhi dulu dua syaratku! Cari bukur dan ikan blanak yang bisa menari di atas piring.”

Tentu saja Raja Joko Wongso tidak bisa memenuhi syarat aneh itu. Sementara itu, Nyai Roro Kemuning punya ide cerdik. Ia berbisik pada Raja,

“Paduka, carilah kerang ajaib di laut. Tapi harus berpakaian nelayan!” 

Karena tergila-gila, Raja Joko Wongso menyetujui syarat itu. Ia meninggalkan pakaian kebesarannya dan pergi ke laut, berburu kerang ajaib. Sementara itu, Syech Abdul Aziz mengenakan pakaian kerajaan dan mengaku sebagai Raja Joko Wongso, lalu Syech Abdul Aziz berkata lantang kepada prajurit, 

“Tangkap semua mata-mata yang berkedok nelayan!”

Prajurit-prajurit pun berlari ke laut dan menangkap Raja Joko Wongso yang menyamar. Sang raja ditangkap dan dihajar hingga tewas oleh rakyatnya sendiri. Saat sekarat, ia berteriak: “Teluk… teluk…! Aku ini rajamu…!” 

berusaha memperingatkan, namun rakyat tidak menghiraukannya. Dari peristiwa ini, lahirlah nama Telukawur untuk desa tempat kematian Raja Joko Wongso. Sementara itu, Syech Abdul Aziz dan Nyai Roro Kemuning kembali hidup bersama. Syech Abdul Aziz wafat di Desa Jondang, dan hingga kini dikenang dengan sebutan Mbah Syech Jondang. Makam beliau menjadi salah satu tempat ziarah di Jepara, sebagai simbol perjuangan dakwah Islam dan kecintaan pada tanah Jawa. Sampai sekarang, makam beliau masih sering diziarahi orang-orang yang ingin mengenang kebaikan dan ketulusan hatinya.(*)

Oleh Putri Arini Arifianti