Ritual Bakar Tongkang

Mentari pagi di Bagansiapiapi menyambutku dengan kehangatan khas pesisir. Aroma matahari bercampur dengan bau dupa bakaran yang kuat, pertanda ritual Bakar Tongkang akan segera tiba. Jantungku berdebar tak sabar, acara yang kunanti setiap tahun akhirnya tiba juga. Ada perasaan gembira dan tak sabar, ingin segera menghampiri keramaian itu. 

Pagi itu terasa lebih istimewa. Saudara-saudaraku dari Pekanbaru akhirnya tiba, wajah-wajah antusias mereka memancarkan rasa ingin tahu yang besar. “Jadi, ini dia tempat Bakar Tongkang yang sering kamu ceritakan itu?” tanya Wulan, tanteku, matanya berbinar-binar melihat ramainya suasana kota.

“Betul sekali,” jawabku sambil tersenyum lebar. “Hari ini kita akan menyaksikan salah satu ritual paling unik dan sakral di Indonesia.”

Sambil menikmati sarapan lontong sayur di sebuah warung tenda, aku mulai bercerita kepada mereka tentang Bakar Tongkang. “Ritual Bakar Tongkang ini adalah upacara tahunan. Ini bukan sekadar pesta kembang api biasa, tapi sebuah tradisi turun-temurun yang sarat makna dan kepercayaan,” ujarku.

“Memangnya apa sih ciri khasnya?” sela Tio, kakak lelakiku yang selalu penasaran.

“Ciri khas utamanya tentu saja replika kapal tongkang yang megah,” jelasku. “Kapal ini dibuat dengan sangat teliti oleh masyarakat setempat, menggunakan berbagai macam bahan seperti kayu, bambu, dan kertas warna-warni. Kalian akan melihat betapa indahnya kapal itu nanti, dihiasi dengan ornamen-ornamen khas yang punya arti tersendiri.”

Setiap bagian dari kapal tongkang itu punya makna filosofis. Layar yang terkembang melambangkan harapan dan cita-cita. Bendera-bendera kecil yang berkibar itu konon katanya adalah simbol semangat dan kegembiraan. Bahkan, arah jatuhnya tiang kapal saat dibakar nanti dipercaya akan menentukan keberuntungan rezeki bagi masyarakat Bagansiapiapi selama setahun ke depan.

Masyarakat Bagansiapiapi percaya bahwa ritual Bakar Tongkang ini adalah wujud syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang melimpah. Dahulu kala, konon katanya, para perantau dari Tiongkok yang pertama kali mendirikan Bagansiapiapi datang menggunakan kapal tongkang. Ritual ini juga dianggap sebagai penghormatan kepada para leluhur yang telah membuka dan membangun kota ini.

Setelah sarapan, kami berjalan menuju lapangan tempat replika tongkang megah itu berdiri. Benar saja, pemandangannya sungguh luar biasa. Kapal itu tampak gagah dengan warna-warni cerah dan detail ornamen yang memukau. 

“Lalu, kenapa kapal ini harus dibakar?” tanya Tio, tampak semakin tertarik.

“Pembakaran ini adalah inti dari ritual. Api melambangkan penyucian dan pelepasan. Dengan membakar tongkang ini, kita melepaskan segala kesialan dan harapan buruk, sekaligus mengirimkan rasa syukur kita ke langit. Asap yang membumbung tinggi diyakini akan membawa doa dan harapan kita,” jawabku.

“Saya juga dengar ada sesajen dan prosesi khusus sebelum pembakaran,” timpal Wulan.

“Betul sekali, sebelum pembakaran, ada berbagai macam sesajen yang diletakkan disana. Ada nasi tumpeng, lauk pauk, buah-buahan, dan berbagai macam kue tradisional. Semua itu adalah persembahan kepada leluhur dan sebagai ungkapan rasa syukur. Selain itu, ada juga prosesi arak-arakan tongkang keliling kota yang diawali dengan barisan patung Dewa dengan musik tradisional,” jawabku.

Menjelang sore, suasana semakin ramai. Ribuan orang memadati lapangan, semua ingin menyaksikan puncak acara. Api mulai menyala di bagian bawah tongkang. Perlahan tapi pasti, kobaran api semakin membesar, melalap seluruh bagian kapal. Cahaya jingga dari api menari-nari di wajah setiap orang yang hadir, menciptakan pemandangan yang magis dan tak terlupakan. Suara gemuruh api bercampur dengan alunan musik tradisional yang semakin menghentak, menciptakan suasana yang begitu emosional.

Saudara-saudaraku tampak terpukau. Mereka tak henti-hentinya mengabadikan momen tersebut dengan kamera ponsel mereka. Aku bisa melihat betapa ritual ini telah menyentuh hati mereka.

Setelah api mulai mereda, orang-orang mulai berkerumun untuk melihat arah jatuhnya tiang kapal. Sorak sorai kegembiraan terdengar ketika tiang itu jatuh ke arah yang dianggap membawa keberuntungan.

Dalam perjalanan pulang, Wulan menggenggam tanganku erat. “Ini pengalaman yang luar biasa,” katanya dengan mata berbinar. “Aku jadi mengerti kenapa kamu selalu bersemangat setiap kali bercerita tentang Bakar Tongkang.”

Tio mengangguk setuju. “Benar. Ini bukan hanya sekadar tradisi, tapi juga cerminan kekayaan budaya dan kepercayaan masyarakat Bagansiapiapi. Terima kasih sudah mengajak kami.”

Aku tersenyum lega. Berbagi keindahan dan makna dari ritual Bakar Tongkang dengan orang-orang terkasih ternyata memberikan kebahagiaan tersendiri. Malam itu, di bawah langit Bagansiapiapi yang bertabur bintang, kami bertiga berbagi cerita dan kesan tentang pengalaman yang tak terlupakan itu. Aku tahu, kenangan tentang kobaran api yang melalap tongkang, alunan musik tradisional, dan kehangatan kebersamaan akan terus membekas di hati kami. Ritual Bakar Tongkang bukan hanya sekadar tontonan, tapi juga sebuah pelajaran tentang sejarah, kepercayaan, dan kekayaan budaya yang patut dilestarikan.(*)

Oleh Louisa Yona Dewi Asgita