Asal Mula Desa Popongan 

Waktu aku masih kecil, nenek sering bercerita soal sejarah kampung kami. Katanya, dulu zaman penjajahan Belanda, daerah Bringin dan sekitarnya pernah jadi tempat persembunyian pasukan Pangeran Diponegoro. Salah satu tokoh penting waktu itu bernama Kyai Trunojoyo, seorang pejuang yang gagah dan bijak. Beliau dulunya adalah anak dari Ki Ageng Mangunjoyo dan awalnya adalah prajurit kerajaan Solo yang bertugas ngurus senjata meriam.

Nenek bilang, meskipun dia kerja buat kerajaan, Kyai Trunojoyo diam-diam diperintah langsung oleh Raja Pakubuwono VI buat bantu perjuangan Pangeran Diponegoro yang waktu itu sedang melawan Belanda di daerah Tegalrejo. Bareng saudara-saudaranya, Kyai Trunojoyo gabung sama pasukan Diponegoro, lalu mereka disuruh Nyai Ageng Serang buat bantu pasukan Notoprajan yang dipimpin Raden Mas Papak di daerah Serang, Purwodadi.

Karena setia dan berani, Kyai Trunojoyo lalu diangkat menjadi senopati atau panglima pasukan Notoprajan. Tugasnya berat: ngamanin wilayah Distrik Salatiga dan sekitarnya dari serangan Belanda. Di sana, beliau sering nyerang loji-loji atau benteng milik Belanda. Untuk memperkuat kekuatan, Kyai Trunojoyo juga bekerja sama dengan pasukan Tumenggung Prawirodigdoyo dari Karanggede.

Tapi, ternyata Belanda tidak tinggal diam. Mereka punya mata-mata yang nyebar sampai ke desa-desa. Tahun 1827, markas Kyai Trunojoyo di Dusun Pete, Desa Sukoharjo, diserbu pasukan Belanda. Karena kalah jumlah dan kalah senjata, pasukan Notoprajan terpaksa mundur. Kyai Trunojoyo membawa sisa pasukannya lari ke utara, lewat dusun-dusun sampai akhirnya sampai di tempat yang sekarang kita kenal sebagai Dusun Bantar.

Di Dusun Bantar, mereka istirahat dan membuat gubuk-gubuk darurat buat berteduh. Tapi malang tak bisa ditolak, karena kurang makan dan lelah, banyak prajurit yang sakit. Pagebluk, nenek bilang, semacam wabah muntaber, bikin banyak dari mereka meninggal. Kyai Trunojoyo dengan sedih menguburkan mereka secara massal di satu areal khusus, yang sekarang menjadi Makam di Dusun Bantar.

Belum juga sembuh luka hati karena kehilangan banyak prajurit, pasukan Belanda nyerbu lagi. Untungnya, ada mata-mata Notoprajan yang ngasih kabar duluan. Lalu Kyai Trunojoyo suruh para prajurit yang masih sakit buat pindah ke tempat yang lebih aman. Mereka jalan pelan-pelan sampai tiba di tempat yang sekarang dikenal sebagai Dusun Patet.

Di Dusun Patet, mereka bertahan. Cerita nenek-nenek, mereka tidak punya obat, jadi cuma pakai daun-daunan yang mereka cari di hutan. Tapi, berkat ketekunan mereka dan izin Tuhan, banyak yang akhirnya sembuh. Tempat itu kemudian menjadi tempat khusus karena berhasil menyelamatkan nyawa para pejuang. Yang meninggal di sana juga dimakamkan bersama-sama.

Tahun-tahun berlalu, perang Diponegoro pun berakhir pada tahun 1830 setelah Pangeran Diponegoro tertangkap. Belanda akhirnya mulai menjalankan politik tanam paksa sehingga nutup kerugian perang. Di Salatiga, Kyai Trunojoyo baru saja diangkat menjadi Panewu atau kepala distrik. Ia percaya Belanda karena bisa dianggap menjaga perdamaian.

Kyai Trunojoyo nggak kerja sendiri. Beliau angkat saudara dan anak-anaknya jadi pemimpin desa. Ada yang jadi Demang Tembelangan, Demang Rejosari, hingga Demang di Kalijambe. Bahkan putranya, Raden Surosudiro, diangkat jadi Panetus Bringin I, dan dari dialah cerita tentang kampung-kampung ini mulai dibentuk secara resmi.

Karena ingin mengenang perjuangan masa lalu, Raden Surosudiro ngasih nama-nama pedukuhan berdasarkan sejarahnya. Maka lahirlah nama Dusun Bantar, Popongan, dan Patet. Nama-nama itu diambil dari tempat persembunyian dan perjuangan pasukan Notoprajan zaman perang dulu.

Lalu pada tahun 1859, setelah tanam paksa mulai dihapuskan, wilayah-wilayah itu mulai ramai ditinggali. Sawah tumbuh subur, penduduknya mulai banyak. Akhirnya oleh Raden Surosudiro, tiga dusun tadi dijadikan bagian dari wilayah resmi pemerintah: Desa Kademangan Petet, wilayah kepemimpinan Bringin. Begitulah, kata nenek, sejarah kampung ini bukan hanya dari buku, tetapi dari darah dan perjuangan.(*)

Oleh Annasia Chamidah Azzahra