Pada zaman dahulu, di tanah Jawa yang subur dan hijau, hiduplah seorang tokoh alim dan bijaksana bernama Raden Pandan Arang. Dia dikenal sebagai pemimpin yang arif, disegani karena ilmunya yang luas dan akhlaknya yang mulia. Bersama para santri dan abdi dalamnya, beliau tinggal di daerah utara Semarang dan sering mengadakan pengajian serta pertemuan spiritual.
Suatu hari, setelah sebuah pertemuan besar dengan para pengikutnya, Raden Pandan Arang mendapat bisikan hati —diperkuat dengan saran para santrinya— untuk melakukan perjalanan ke arah selatan. Bukan karena alasan politik atau peperangan, melainkan karena panggilan jiwa dan rasa ingin mengenal tanah yang lebih luas.
Dengan bekal secukupnya dan semangat yang tinggi, beliau berangkat bersama lima puluh orang santri dan abdi dalem. Perjalanan ke selatan tidaklah mudah. Mereka menembus hutan, menapaki perbukitan, dan menuruni lembah-lembah yang sunyi. Tapi wajah-wajah mereka tetap berseri-seri, tidak satu pun mengeluh. Pemandangan yang mereka saksikan sepanjang jalan menyejukkan hati, pepohonan hijau, burung-burung bernyanyi, dan dari puncak sebuah bukit, tampak Laut Jawa yang membiru indah di kejauhan.
Melihat betapa para pengikutnya bersukacita, Raden Pandan Arang berhenti sejenak dan berkata, “Saudara-Saudara, betapa indahnya negeri ini. Jagalah keindahannya. Jangan rusak hutan dengan menebangi pohon sembarangan, dan jangan cemari lautan atau sungai dengan sampah.”
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan hingga tibalah di sebuah desa yang makmur. Desa itu dikelilingi oleh ladang hijau dan pohon buah yang lebat. Penduduknya hidup rukun dan saling membantu. Tanah di sana begitu subur dan yang paling istimewa, desa itu memiliki sembilan mata air yang mengalirkan air sangat jernih. Penduduk menyebutnya Tuk Sanga—tuk artinya mata air, dan sanga artinya sembilan.
Awalnya, Tuk Sanga membawa berkah besar. Airnya digunakan untuk minum, memasak, mandi, dan mengairi sawah. Hidup terasa mudah dan penuh syukur. Namun, beberapa bulan terakhir, air dari mata air itu memancar terlalu deras, jauh melebihi biasanya. Air menggenangi ladang, rumah, bahkan jalan-jalan desa. Perlahan-lahan, terbentuklah sebuah danau luas yang terus meluas.
Penduduk panik. Mereka bergotong royong mencoba menutup lubang mata air dengan tanah dan batu, tapi sia-sia. Segala yang mereka timbun selalu tenggelam tanpa jejak. Hari-hari mereka dipenuhi kecemasan dan keputusasaan.
Dalam suasana itulah Raden Pandan Arang datang. Ia melihat keresahan di wajah penduduk dan memahami penderitaan mereka. Beliau tak berkata banyak. Dengan tenang, ia mengambil air wudhu, menggelar sajadah, dan salat di atas tanah yang sedikit kering. Usai salat, beliau menengadah ke langit, berdoa dalam waktu yang lama, matanya terpejam, wajahnya tenang, bibirnya komat-kamit mengucap harapan kepada Sang Pencipta.
Selesai berdoa, beliau berdiri dan berkata kepada penduduk desa, “Saudara-saudara, jangan khawatir. Setelah kami pergi dari sini, delapan dari sembilan mata air itu akan berhenti mengalir. Hanya satu yang akan tetap ada, karena kalian masih membutuhkannya untuk hidup sehari-hari. Tapi ingat, jagalah kebersihannya dan rawatlah dengan baik. Dan satu hal lagi, beri nama desa ini Tambalang.”
Penduduk terheran-heran. “Mengapa Tambalang, Raden?” tanya seorang warga. Raden Pandan Arang tersenyum, “Karena kalian telah berusaha berkali-kali menambal mata air, namun hasilnya selalu hilang. Kata Tambalang berasal dari ‘tambal’ dan ‘hilang’. Itu adalah pelajaran dari alam.”
Setelah menyampaikan pesan itu, Raden Pandan Arang dan rombongannya pun berpamitan. Mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan desa yang sedang dirundung masalah. Namun, tak lama setelah kepergian mereka, keajaiban terjadi. Air dari delapan mata air mulai surut. Alirannya mengecil, lalu berhenti sama sekali. Hanya satu mata air yang masih memancarkan air, tenang dan jernih, seperti janji yang diucapkan oleh sang wali.
Warga bersujud syukur. Mereka mematuhi pesan Raden Pandan Arang. Mata air yang tersisa dijaga dan dirawat. Desa pun diberi nama Tambalang, seperti titah sang wali. Seiring waktu, sebutan itu berubah pengucapan menjadi Tembalang.
Kini, Tembalang bukan lagi desa kecil yang tenang. Ia telah tumbuh menjadi daerah yang ramai, dihuni oleh ribuan pelajar dan pemikir dari seluruh negeri. Sebab di sanalah berdiri megah Universitas Diponegoro, kampus kebanggaan yang melahirkan generasi penerus bangsa.
Namun, hingga hari ini, masyarakat masih percaya bahwa keajaiban di Tembalang adalah buah dari doa tulus seorang wali yang pernah singgah—Raden Pandan Arang.(*)
Oleh Kesya Puteri Cantika