Kota Semarang dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan tua di Indonesia yang menyimpan Sejarah panjang dalam dunia perdagangan dan interaksi antar kebudayaan. Sejak zaman dahulu, kota Semarang telah menjadi tujuan bagi para pedagang dari berbagai penjuru dunia, seperti Gujarat, India, Arab, Persia dan Tiongkok. Jejak Sejarah inilah yang membentuk Semarang sebagai kota multicultural yang hidup dalam harmoni. Bukti nyata dari warisan itu, ditemukan dalam kehidupan masyarakat Semarang di kampung-kampung tuanya, seperti Kampung Melayu, Pecinan, dan Kauman yang hingga kini masih menunjukkan jejak percampuran budaya.
Salah satu kawasan di kota Semarang yang paling menarik akan tradisi nya yang khas yaitu Kampung Melayu, yang kini lebih dikenal sebagai Kampung Layur. Kampung Layur terletak di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara. Kampung ini merupakan salah satu pemukiman tertua di Semarang dan sejak abad ke-18 menjadi tempat tinggal komunitas keturunan Arab dan Melayu. Di Kampung Melayu berdiri sebuah bangunan masjid bersejarah yang menjadi pusat peribadatan dan interaksi sosial masyarakat Arab-Melayu.
Masjid ini lebih dikenal dengan nama Masjid Menara Layur. Masjid ini didirikan pada tahun 1802 oleh para saudagar asal Yaman yang menetap di Semarang. Ciri khas dari masjid ini adalah sebuah menara yang menjulang tinggi, yang dulunya digunakan sebagai mercusuar untuk mengamati kapal-kapal dagang yang melintas di sungai Semarang. Kini, menara itu difungsikan sebagai tempat pengeras suara adzan, namun makna sejarahnya tetap terasa kuat. Masjid Menara Layur bukan hanya bangunan fisik, melainkan simbol dari akar budaya dan agama yang terus terjaga hingga saat ini.
Saat bulan suci Ramadan, Masjid Menara Layur kembali menjadi pusat kehidupan masyarakat. Setiap sore menjelang berbuka puasa, sebuah tradisi khas yang telah diwariskan turun-temurun kembali hadir yaitu penyajian Kopi Arab. Minuman ini diracik dengan campuran rempah-rempah khas Timur Tengah seperti kapulaga, kayu manis, dan cengkeh. Kopi Arab ini memiliki aroma dan cita rasa yang unik dan kaya. Biasanya disajikan hangat dan ditemani dengan kurma atau jajanan tradisional. Tradisi ini dipercaya berasal dari kebiasaan para saudagar Arab yang dahulu menjadikan kopi sebagai minuman utama dalam pertemuan keagamaan atau saat berbuka puasa.
Kagiatan penyajian Kopi Arab dilakukan dengan penuhh ketelitian dan rasa syukur. Setiap keluarga menyumbang bahan yang mereka miliki, ada yang membawa rempah, ada yang
membawa kopi dan tak sedikit yang membantu menyeduh dan membagikannya kepada jamaah. Tradisi ini menjadi semacam wujud kebersamaan dan solidaritas yang menguatkan hubungan sosial di Kampung Melayu.
Salah satu orang yang menjadi saksi akan tradisi ini sampai sekarang adalah ibu pemilik sebuah warung kecil yang terletak tepat di depan masjid. Beliau sudah lama berjualan disana dan bisa dibilang beliau ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari suasana Ramadhan di kampung ini. Saat saya sempat ngobrol dengannya di sela-sela kesibukannya melayani pembeli, Ibu pemilik warung tersebut bercerita bahwa tradisi menyajikan kopi Arab di masjid itu masih tetap dilakukan sampai sekarang.
“Masih ada, Mbak, tiap Ramadhan selalu disediain kopi Arab di masjid ini,” katanya sambil menyusun gelas-gelas plastik di etalase warung. “Bukan cuma buat jamaah atau warga sini aja lho, tapi siapa aja yang datang ke masjid — entah itu pengunjung, orang luar kota, atau sekadar lewat — boleh mencicipi juga. Gratis.”
Kopi Arab yang dimaksud bukan kopi biasa. Rasanya khas, ada aroma rempah seperti kapulaga, kayu manis, dan cengkeh yang bikin hangat di tenggorokan. Biasanya disajikan menjelang waktu berbuka, barengan sama kurma atau jajanan kecil. Menurut Ibu pemilik warung itu, cara menyeduhnya pun masih mengikuti kebiasaan lama yang diajarkan secara turun-temurun.
Beliau bilang bahwa suasana Ramadhan di Masjid Layur itu memang beda. Ada nuansa kebersamaan yang nggak bisa ditemuin di tempat lain. Meskipun zaman sudah berubah, dan anak-anak muda sekarang punya banyak pilihan makanan atau minuman, mereka tetap datang. Kadang cuma buat ngerasain kopi Arab sambil duduk-duduk di pelataran masjid.
“Alhamdulillah ya, sampai sekarang masih jalan. Saya juga senang liatnya, yang datang ke masjid itu macam-macam. Ada anak sekolah, ada wisatawan juga. Kadang mereka baru pertama kali ke sini, tapi pas nyicip kopi ini langsung tanya: ini kopi apa Bu? Rasanya unik banget, katanya begitu.” Menurut Ibu pemilik warung tersebut, tradisi ini bukan cuma soal kopi, tapi tentang menjaga kebiasaan baik yang punya nilai kebersamaan. Ia berharap tradisi ini nggak berhenti, supaya orang-orang masih bisa tahu kalau di Semarang, khususnya di Kampung Layur, ada secangkir kopi Arab yang bisa menghangatkan siapa saja yang datang, baik tubuh maupun hati.
Tradisi penyajian kopi Arab di Masjid Layur bukan sekadar warisan kuliner, melainkan cermin dari semangat kebersamaan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya yang telah hidup puluhan bahkan ratusan tahun.(*)
Oleh Destania Azzahra