Misteri Siluman Buaya Putih di Sungai Pleret

Di suatu kampung yang berada di tengah kota Semarang, tinggalah keluarga yang harmonis. Keluarga tersebut terdiri dari 4 anggota keluarga yaitu ayah,ibu, dan dua anak laki-laki. Anak pertama bernama Riyan dan anak kedua bernama Toni. Usia dari kedua anak tersebut terpaut tidak terlalu jauh. Sang kakak berumur 14 tahun dan sang adik berumur 12 tahun. Setiap pulang sekolah kakak beradik tersebut selalu bermain bersama dengan teman-teman sebayanya. Pada saat itu Riyan dan Toni sudah pulang sekolah saat siang hari, mereka beristirahat sejenak di meja makan.

“Dek, sore ini kita jangan main dulu ya,” ujar Riyan

“Lho emangnya kenapa kak? Bukannya, hari ini kita udah janji mau main di parit bareng temen-temen?” jawab Toni penuh keheranan

“Kamu lupa ya? ayah sama ibu udah bilang kalau malam ini tuh malam satu suro”timpal Riyan

“Emang kenapa kalau malem ini satu suro? Bukannya sama saja seperti malam lainnya?” tanya Toni dengan kebingungan

“Pamali dek, kalau kita keluyuran malam satu suro. Mending kita main berdua aja di dalam rumah kali ini.” jelas Riyan

“Ah, ga mau kak, pokoknya kita main di parit yang besar hari ini bareng temen-temen!” protes Toni yang kesal karena dilarang oleh kakaknya

“Ya sudah kalau mau main, tapi hari ini kita harus pulang sebelum magrib” saran Riyan walau dengan berat hati

Tak lama kemudian, ibu mereka datang ke meja makan. Ibu mereka membawa jajanan pasar yang cukup banyak. Riyan dan Toni sangat senang dan memakan jajan itu dengan lahap. Saat memakan jajanan pasar, mata Riyan tertuju ke sebuah kantung  plastik putih yang berisikan bunga didalamnya

“Ibu beli bunga dari pasar untuk apa?”tanya Riyan

“Oh ini, untuk acara slametan“ jawab ibunya

Toni membuka kantung plastik itu dan dia sedikit kaget ternyata banyak sekali jenis bunga yang dibeli oleh ibunya

“Ibu, kok banyak sekali jenis bunga yang ibu beli, kenapa tidak beli satu jenis saja” tanya Toni

“Yang ibu beli itu bunga 7 rupa, isinya ada bunga mawar, melati, sedap malam, gading kuning, pacar air, gading putih, dan kenanga. Menurut kepercayaan sekitar, kita harus melarungkan ketujuh jenis bunga ini di Sungai Pleret supaya terhindar dari malapetaka siluman buaya putih”jelas ibunya

“Tapi bu, siapa yang akan melarungkan semua bunga ini?”tanya Riyan 

“Ayah kalian nak, ayah sudah berkumpul di rumah pak RT yang nantinya akan berangkat bersama-sama ke sungai Pleret” imbuh ibunya

“Ah ayah dan ibu, sudah di zaman sekarang saja masih percaya mitos seperti itu” Toni memotong percakapan kakak dan ibunya dengan nada meremehkan

“Heh, kamu ga boleh begitu Ton, kita cukup hargai kepercayaan sekitar kita” sahut Riyan 

“Ah terserah lah, pokoknya sore ini kita tetap jadi main bareng temen-temen” ujar Toni yang mengacuhkan perkataan kakaknya.

Pada saat menjelang pukul 3 sore, langit yang awalnya sangat terik seketika berubah menjadi mendung. Suasana yang awalnya tenang di rumah pak RT berubah menjadi riuh. Banyak warga yang izin untuk pulang kerumah masing-masing tak terkecuali ayah Riyan dan Toni. Melihat hal tersebut, pak RT terpaksa menunda pelarungan. Sesampainya di rumah, ayah langsung masuk dengan napas sedikit terengah.

“Ibu, hujannya sebentar lagi turun. Warga sepakat untuk menunda proses pelarungan bunga” ungkap ayah.  

“Sayang sekali bunga yang sudah dibeli pasti akan layu, besok ibu belikan yang baru saja” jawab sang ibu.

Riyan dan Toni yang mendengarkan percakapan kedua orang tuanya, saling memandang. Toni yang tidak sabaran, segera menarik tangan Riyan.

“Kak, ayo buruan ke parit, mumpung hujannya belum turun” bisik Toni dengan penuh semangat

Riyan sebenarnya ragu sebab langit yang mendung. Di dalam hati Riyan, ia memiliki firasat buruk, dan khawatir hal buruk akan terjadi. Tetapi, karena sudah berjanji dengan adiknya ia berusaha menepis perasaannya. Riyan dan Toni lekas berpamitan dengan kedua orang tuanya. Selama perjalanan menuju ke parit, angin bertiup kencang dan daun kering di tepi jalan berterbangan. Suara guntur samar-samar terdengar dari kejauhan. Hal tersebut tak membuat semangat Toni turun sedikitpun. Berbeda dengan Riyan, hatinya semakin tak karuan dan hanya bisa berdoa dengan harapan hal buruk tak menimpanya. 

Sesampainya di tepi parit, sudah ada 3 anak yang menunggu mereka. Dua diantaranya, Lintang dan Arul, yang merupakan teman sekelas dengan Riyan dan satu orang lagi, Bimo, merupakan teman sekelas dengan Toni. Mereka semua tampak antusias, kecuali Riyan.

“Hari ini kita mainnya sebentar saja ya, soalnya bentar lagi bakal hujan” tutur Riyan

“Ah kamu ini, mana seru kalau cuma sebentar aja mainnya. Kita main sambil hujan-hujanan sekalian aja yuk” sahut Lintang dengan mengacuhkan imbauan dari Riyan

Lintang lantas melepaskan kaos yang dipakai dan menceburkan diri ke parit lalu berenang menuju ke sisi seberang parit. Parit yang digunakan untuk mereka bermain sebenarnya tidak terlalu dalam namun jika hujan pasti membuat air di sana menjadi sangat deras. Disusul oleh Arul dan Bimo yang berteriak kegirangan. Toni pun bergegas melepas sandal dan hendak menceburkan diri ke parit. Namun, tangannya digenggam oleh kakaknya. 

“Dek, kamu mainnya di tepian saja, kakak takut kalau air di parit semakin deras” pinta Riyan dengan khawatir

“Iya kak, aku juga mainkan selalu di tepian jadi kakak ga usah khawatir”ucap adiknya yang sudah tak sabar ingin bergabung dengan teman-temannya. 

Riyan pun melepaskan tangan adiknya dengan terpaksa. Riyan hanya bisa menghela nafas panjang. Ia berdiri ditepian dengan suasana hati yang tak karuan. Setelah 10 menit puas bermain, Arul pun keluar dari parit sambil menggosok lengannya yang mulai kedinginan. 

“Yan, kok tumben kamu ga ikut main di parit? Biasanya kamu semangat saat kita main” tanya Arul 

“Sebenarnya dari tadi aku memiliki firasat yang buruk, rul, aku lihat arus di parit semakin deras,” ungkap Riyan

“Aku rasa sebaiknya kita sudahi saja mainnya.” lanjut Riyan

Arul mengangguk, merasa tubuhnya juga mulai menggigil. Ia lalu berteriak ke arah Toni

dan Bimo yang masih asyik bermain di air, “Toni! Bimo! Udahan yuk”

Mendengar hal tersebut, mereka pun segera keluar dari parit. Keduanya berlari menuju Riyan dan Arul. Melihat hal tersebut perasaannya sedikit lega. Namun ia masih heran, mengapa perasaan risaunya tak kunjung menghilang. Di parit hanya tersisa Lintang, ia masih asik sendiri di parit meski air hujan telah turun. 

“Lintang! Ayo naik sudah hujan ini!”teriak Arul

“Iya sebentar lagi aku naik!” balas Lintang

Saat Lintang berusaha kembali ke lokasi dimana teman-temannya berada, air di parit menjadi semakin deras. Lintang yang berusaha untuk berenang ketepian tampak kesulitan. Lintang sudah tampak panik karena arus parit yang mulai mendorongnya lebih jauh. Teman-temannya sangat panik melihat hal tersebut. Riyan dengan cepat mencari kayu yang cukup panjang untuk menolong Lintang.“Lintang! Pegangan di sama kayu ini!” Riyan berusaha menyodorkan ke Lintang. Namun air yang sangat deras, menjadi penghalang untuk Lintang mendapatkan pertolongan temannya itu. Air yang deras membuat Lintang harus terseret arus hingga tubuhnya menghilang di tengah derasnya air.

Teman-temannya yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa diam terpaku. Air hujan yang deras menyamarkan air mata anak-anak tersebut. Perasaan bersalah mengahantui Riyan, seharusnya ia mengikuti kata hatinya untuk tidak bermain di parit hari ini. Riyan meminta untuk semua temannya pulang dahulu. Merekapun pulang ke rumah dengan pikiran yang berkecamuk.

Sesampainya di rumah, Riyan dan Toni menghampiri kedua orang tuanya yang telah menunggu mereka di rumah.

“Ya ampun, kalian kenapa basah kuyup seperti ini?” tanya ibu dengan khawatir. 

Riyan tak mampu menjawab pertanyaan ibunya, lidahnya terasa kelu. Toni juga hanya bisa mematung di samping kakaknya. Dalam pikiran Riyan, ia ingin untuk menyembunyikan hal ini, namun hatinya berkata untuk sebaiknya dia harus menceritakan apa yang telah terjadi di parit tadi. 

“Ada apa nak? Kenapa wajah kalian pucat sekali?” tanya ibu

“ Ayah… Ibu… Lintang hanyut di parit” ujar Riyan 

“Saat Lintang berusaha berenang menghampiri kami, air di parit menjadi semakin deras, kami sudah berusaha menolongnya namun tetap tidak tertolong” sambungnya dengan suara lirih dan mata yang berkaca-kaca.

Ibu yang mendengar hal tersebut menatap mereka tak percaya. Wajahnya seketika pucat. Ayah yang mendengar langsung bangkit dari duduknya, mengambil jaket dan payung tanpa sepatah kata pun, lalu bergegas keluar rumah, menuju ke rumah pak RT.Sementara itu, ibu hanya bisa memeluk Riyan dan Toni, mencoba menenangkan mereka meski hatinya sendiri sudah runtuh oleh kabar yang baru saja ia dengar..  

Sesampainya di rumah pak RT, ayah Riyan menceritakan kejadian yang dialami oleh anaknya. Pak RT yang telah mendengar hal tersebut lantas berusaha untuk menelpon tim SAR dan kepolisian untuk melaporkan adanya warga yang hilang.  Pak RT meminta tolong ke ayah Riyan supaya warga untuk berkumpul untuk mencari Lintang. 

Proses pencarian berlangsung selama empat hari. Selama empat hari pula, Riyan hanya berdiam diri di kamarnya. Riyan merasa ini semua terjadi karena ia tidak mengikuti kata hatinya hari itu. Melihat hal tersebut, Toni merasa sangat sedih. Toni memberanikan diri untuk duduk di samping kakaknya yang tengah termenung menatap keluar jendela. “Kak, aku minta maaf ya, andai waktu itu aku ikut omongan kakak,mungkin hal ini tidak terjadi” ucap Toni dengan suara lirih.Mendengar hal itu, membuat hati Riyan luluh, ia pun memeluk pundak adiknya. Mereka berdua saling menguatkan, meskipun luka di hati mereka belum pulih sepenuhnya. Mereka masih berharap Lintang bisa ditemukan dengan keadaan selamat di hari ke-5. 

Keesokan harinya, pak RT mendapatkan informasi bahwa ditemukan anak laki-laki berusia 14 tahun di sungai Pleret dari tim kepolisian. Pak RT pun memberitahu warga untuk segera ke sungai Pleret. Ayah Riyan pun segera berpamitan ke istrinya untuk ikut bersama-sama dengan warga pergi ke sungai Pleret. Riyan yang mendengar ayahnya akan pergi ke sungai Pleret, ia bergegas keluar dari kamarnya dan meminta untuk ikut dengan ayahnya. Pada awalnya ibu melarang Riyan untuk ikut bersama ayahnya, namun Riyan bersikeras ingin mengetahui secara langsung apakah yang ditemukan tim SAR adalah temannya atau bukan. Akhirnya ibu pun mengizinkan Riyan untuk  ikut dengan ayahnya.

Sesampainya di sungai Pleret, sudah banyak warga yang berada disana. Riyan pun turun bersama ayahnya untuk bergabung dengan warga. Di tepian sungai tpat tim sarerdapat tim SAR yang mengangkut benda yang sepertinya cukup berat dan tertutupi oleh terpal. Riyan yang masih lugu menatap benda yang tertutupi terpal mulai mendekat, membuat perasaannya campur aduk. Tim SAR pun mulai membuka sebagian terpal, memperlihatkan wajah pucat anak laki-laki yang sebagian tubuhnya telah hilang seperti digigit hewan yang sangat buas. Riyan yang melihat hal tersebut sekujur tubuhnya mematung dan nafasnya mulai tak beraturan. Korban yang ditemukan oleh tim SAR adalah sahabatnya yaitu Lintang. Ayahnya yang berada disampingnya hanya bisa menguatkan pundak anaknya dan berusaha tegar. Tangis pecah dari warga sekitar membuat suasana semakin haru. Ditengah suasana haru tersebut, ada salah satu sesepuh yang angkat bicara

“Ini pasti ulah dari siluman buaya putih yang menghuni sungai ini! Buaya itu murka sebab saat malam satu suro kemarin kita tidak melaksanakan acara slametan sehingga ia mencari tumbal dari kampung kita” ucap sesepuh tersebut dengan lantang

Warga yang mendengar hal tersebut saling menganggukan kepala, dan yang lainnya masih menunduk. Kata-kata dari sesepuh tersebut membuat pikiran Riyan menjadi campur aduk. Ia pun sangat terpukul atas kehilangan sahabatnya itu. Riyan izin ke ayahnya untuk menjauh dari kerumunan itu. Ia memilih untuk duduk dibawah pohon yang cukup lebat daunnya ditepi sungai Pleret. Ia memilih untuk menenangkan pikirannya disana. Akibat pikirannya yang kacau balau, ia pun tertidur dibawah pohon tersebut. Riyan pun bermimpi bahwa ia bertemu dengan sosok laki-laki yang muncul dengan kabut putih perlahan berjalan mendekati Riyan dengan memakai pakaian serba putih serta tubuh tinggi dan gagah. Laki-laki tersebut mengaku bahwa ia merupakan penjaga wilayah sungai Pleret dengan perwujudan yang dikenal sebagai  siluman buaya putih.

“Nak, jika kau bertanya mengapa temanmu bisa tewas disini, aku akan memberitahumu,”ujar si penjaga dengan nada tegas

“Temanmu ini telah melanggar perjanjian lama yang telah  terjalin antara sesepuh warga sekitar dengan penjaga sungai terdahulu. Para sesepuh telah sepakat bahwa manusia tidak boleh memancing di sungai bagian atas, terlebih saat mendekati malam satu suro, karena wilayah tersebut sangat dijaga ketat oleh bangsa kami sejak lama sebagai gantinya bangsa manusia dapat memancing di wilayah sungai bagian bawah, namun beberapa minggu yang lalu temanmu memancing di sungai bagian atas, ia meremehkan aturan yang telah disepakati dahulu dan menganggap itu semua khayalan belaka, maka dari itu terpaksa aku menghukum anak tersebut.” jelasnya 

Riyan yang mendengar hal tersebut sangat sedih. Hatinya semakin terasa berat atas penjelasan dari penjaga itu. 

“Perjanjian itu ikatan yang seharusnya dijaga dan dihormati oleh kedua pihak, jika ada pihak yang melanggar maka bersiaplah dengan hukuman yang akan datang” ucap si penjaga

“Apa memang tidak ada cara agar nyawa temanku kembali lagi?” tanya Riyan dengan mata yang berkaca-kaca

“Apa yang telah diambil oleh sungai, maka tidak bisa dikembalikan.”ungkap si penjaga dengan nada tegas  

Riyan menunduk, air matanya mulai membasahi pipinya. Ia meminta maaf mewakili temannya yang telah tewas. Penjaga tersebut memberi pesan tambahan kepada Riyan untuk disampaikan ke warga, jika ingin hidup di tanah ini maka hormatilah apa yang telah disepakati oleh leluhur dan penjaga itu berharap semoga di kemudian hari tidak terjadi kesalahan yang sama. Mendengar amanat tersebut Riyan berjanji untuk menyampaikan ke warga. Perlahan sosok penjaga itu hilang ditengah kabut, dan Riyanpun terbangun dari mimpi. 

Riyan bergegas kembali ke kerumunan warga yang masih berada di tepi sungai. Ia menemui ayahnya dan pak RT yang tengah berbincang dengan ayahnya. Ia menceritakan bahwa ia bertemu dengan siluman buaya putih. Pada mulanya warga yang mendengar itu menganggap bahwa Riyan sedang mengarang cerita. Namun, ia tetap berusaha meyakinkan semua warga dengan menceritakan sosok penjaga, serta pesan yang harus disampaikan ke warga dan pelanggaran apa yang telah diperbuat Lintang. Riyan bercerita bahwa Lintang telah memancing di sungai bagian atas menjelang satu suro. Sesepuh yang mendengar hal tersebut membenarkan apa yang diceritakan Riyan benar adanya. “Dahulu leluhur kita memang membuat perjanjian dengan penjaga sungai ini, namun semenjak generasi telah berganti, pesan tersebut telah perlahan-lahan diabaikan” ujar sesepuh

Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara aliran sungai yang tenang mengalir. Perasaan bersalah telah menyelimuti seluruh warga. Mereka mengakui bahwa mereka lalai terhadap amanat  leluhur. Pada sore harinya, warga sepakat untuk mengadakan acara slametan dan doa bersama di tepi sungai. Semenjak hari itu, warga menjaga perjanjian yang telah ada serta mematuhi amanat yang telah disampaikan. (*)

Oleh Eka Widya Nur Aisa