Cepu (“tjepoe”) adalah sebuah kota kecamatan yang berada di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kota ini menjadi perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan Sungai Bengawan Solo sebagai pemisahnya.
Mengapa bernama Cepu? Asal muasal nama kota Cepu sendiri tidak banyak diketahui. Begitu juga kapan tepatnya kota ini didirikan. Keterangan asal muasal nama kota Cepu lebih banyak berdasarkan legenda rakyat. Konon pernah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Adipati Cepu kepada Raden Brawijaya dari Majapahit. Penyerangan ini dilakukan setelah runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak. Dalam penyerangan ini, Adipati Cepu berhasil memaksa Raden Brawijaya untuk melarikan diri ke Gunung Lawu.
Alkisah Adipati asal Bojonegoro Djati Koesoema kalah perang. Sudah menjadi adat terikat tempo dulu, yang kalah harus menyerahkan semua kekanyaannya, putra-putrinya dan membayar ganti rugi. Termasuk putri Adipati Djati Koesoema, Retno Sari, putri cantik ini diserahkan kepada Adipati Tedjo Bendoro. Sayang, Retno Sari keberatan, dia melanggar janji dan kesapakatan adat, wanita ini melarikan diri. Dari kisah pelarian putri rupawan ini, lahir nama-nama punden, dukuh, desa dan lokasi seperti Tuk Buntung dan lainnya. Larinya gadis cantik ini membuat Adipati Tedjo Bendoro murka, dia terpaksa melepas senjata mirip panah kearah sang putri, senjata itu persis mengenai bagian paha (Jawa, pupu). Pusaka kecil mirip panah yang dilepas Adipati Tedjo Bendoro, saat itu dikenal dengan nama Cempulungi. dan dari senjata ampuh tadi, lantas (mungkin) lahir nama Cepu. Versi lainnya adalah, karena senjata tersebut mengenai/menancap (Jawa, nancep) di paha (Jawa, pupu) sang Putri, maka sejak itu disebut sebagai Cepu. Banyak catatan sejarah yang menuliskan nama Cepu didalamnya. Semua ini tak lepas dari sepak terjang Arya Jipang atau Arya Penangsang. Cerita atau babad pelarian Raja Majapahit, Prabu Brawijaya, juga menyebutkan tentang Cepu. Tapi untuk kebenarannya masih diperlukan kajian lebih dalam lagi, karena masih ada beberapa kesimpangsiuran di dalamnya.(*)
Oleh Devita Setyaningrum