Majalengka, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, memiliki sejarah panjang yang kaya dan menarik, mulai dari zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga masa penjajahan Belanda dan Jepang. Nama Majalengka sendiri memiliki beberapa versi asal usul yang menjadi cerita turun-temurun di kalangan masyarakat dan para sejarawan.
Sejak kecil, aku selalu dikelilingi cerita-cerita tua yang diwariskan dari mulut ke mulut, tentang tanah kelahiranku yang penuh sejarah dan misteri. Namun, satu kisah yang selalu membuatku penasaran adalah tentang asal usul nama Majalengka itu sendiri.
Dulu, sebelum nama Majalengka dikenal seperti sekarang, wilayah ini adalah bagian dari kerajaan-kerajaan besar di Tatar Sunda. Pada zaman itu, daerah ini dikenal sebagai Sindangkasih, sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang ratu bijaksana bernama Nyi Rambut Kasih. Beliau terkenal karena kecintaannya pada alam dan rakyatnya, serta ketegasannya dalam menjaga wilayah kekuasaannya dari pengaruh luar. Di tengah hutan lebat Sindangkasih, tumbuhlah pohon-pohon maja. Buah maja ini terkenal pahit, namun konon memiliki khasiat sebagai obat. Banyak orang dari luar wilayah, terutama dari Cirebon, datang untuk mencari buah maja. Namun, Nyi Rambut Kasih tidak menyukai kehadiran mereka yang seringkali mengambil buah maja tanpa izin, bahkan kadang merusak hutan yang dijaganya. Ia pun memerintahkan agar pohon-pohon maja ditebang, agar orang luar tidak lagi datang dan merusak ketenangan Sindangkasih.
Pada suatu hari, rombongan dari Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Muhammad dan Siti Armilah datang ke Sindangkasih untuk mencari buah maja yang mereka perlukan sebagai obat. Namun, betapa terkejutnya mereka ketika mendapati bahwa pohon-pohon maja telah hilang dari hutan itu. Mereka pun berkata dalam bahasa Cirebon, “Maja-e langka,” yang artinya buah maja sudah tidak ada, sudah langka. Ucapan itu terdengar sederhana, namun ternyata menjadi awal dari perubahan besar. Sejak saat itu, wilayah yang dulunya dikenal sebagai Sindangkasih mulai disebut dengan istilah “Majalengka,” gabungan dari kata “maja” dan “langka.” Nama ini perlahan-lahan melekat di benak masyarakat dan menjadi identitas baru bagi tanah kelahiranku.
Perubahan nama ini tidak terjadi begitu saja. Seiring waktu, pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Galuh dan Cirebon semakin kuat di wilayah Sindangkasih. Pada abad ke-16, daerah ini menjadi bagian dari Kesultanan Cirebon. Salah satu tokoh penting pada masa itu adalah Prabu Geusan Ulun, yang mendirikan Kerajaan Talaga di wilayah Majalengka dan berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Namun, perubahan besar terjadi pada masa penjajahan Belanda.
Setelah melalui berbagai peristiwa sejarah, termasuk masuknya Islam dan runtuhnya kerajaan-kerajaan lokal, pemerintahan kolonial Belanda melakukan penataan ulang wilayah administratif. Pada tanggal 11 Februari 1840, ibu kota kabupaten dipindahkan dari Maja ke Sindangkasih, dan nama kabupaten pun diubah menjadi Kabupaten Majalengka. Sejak saat itu, nama Majalengka resmi digunakan sebagai nama kabupaten, menggantikan nama-nama lama seperti Sindangkasih dan Maja. Nama ini semakin kuat melekat, terutama setelah batas-batas wilayah Majalengka diatur secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1887.
Sebagai anak daerah, aku sering mendengar berbagai versi cerita tentang asal usul nama Majalengka. Ada yang meyakini bahwa nama ini sekadar gabungan dari kata “maja” dan “langka,” sesuai dengan kisah hilangnya pohon maja akibat perintah Nyi Rambut Kasih. Namun, ada pula yang percaya bahwa nama Majalengka memiliki makna lebih dalam. Dalam bahasa Jawa Kuno, kata “maja” memang merujuk pada buah maja, sementara “lengka” atau “langka” berarti pahit. Ada yang menafsirkan bahwa Majalengka adalah nama lain dari Majapahit, kerajaan besar di Jawa Timur. Namun, tafsir ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan budayawan. Bagi kami, masyarakat Majalengka, nama ini adalah simbol perubahan, pengorbanan, dan identitas. Ia mengingatkan kami pada masa lalu yang penuh perjuangan, serta pentingnya menjaga warisan sejarah dan budaya.
Setiap tanggal 11 Februari, masyarakat Majalengka, terutama di daerah Gunungwangi, melakukan ziarah sejarah ke makam Raden Tumenggung Dendanegara, bupati Majalengka yang pertama. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi juga menjadi pengingat akan perjalanan panjang pembentukan kabupaten kami. Raden Tumenggung Dendanegara adalah tokoh penting dalam sejarah Majalengka. Ia diangkat sebagai bupati Maja pada tahun 1819, dan setelah perubahan nama menjadi Majalengka pada tahun 1840, ia diangkat menjadi Bupati Cirebon. Penggantinya di Majalengka adalah RAA Kertadiningrat. Kisah para pendahulu ini selalu diceritakan ulang dalam setiap ziarah, menjadi pengikat antara masa lalu dan masa kini.
Kini, Majalengka dikenal dengan julukan “Kota Angin.” Angin yang berhembus dari pegunungan seolah membawa bisikan masa lalu, mengingatkan kami pada kisah-kisah yang membentuk identitas daerah ini. Dari sebuah kerajaan kecil bernama Sindangkasih, berubah menjadi kabupaten yang terus berkembang di era modern. Majalengka adalah bukti bahwa sebuah nama bisa lahir dari peristiwa sederhana, namun membawa makna yang mendalam. Ia mengajarkan kita untuk tidak melupakan sejarah, karena di sanalah akar dari identitas dan kebanggaan kita sebagai anak negeri.(*)
Oleh Ii Komariah