Satu Kisah di Pantai Indah Kemangi

Sore itu, aku duduk di ruang tamu rumah Kakek di Desa Kalirejo, Kecamatan Kangkung, Kabupaten Kendal. Sebagai seseorang yang tumbuh di desa, suasana tenang dan aroma khas pedesaan sudah menjadi bagian dari keseharianku. Kakek duduk di kursi rotan, memandangi halaman depan yang dipenuhi tanaman hias. Aku memanfaatkan momen ini untuk bertanya tentang cerita yang pernah kudengar dari warga sekitar. Saat itu aku sedang pulang ke rumah karena libur kuliah, mencoba menenangkan pikiran dari rutinitas yang melelahkan. Anehnya, setiap kali aku di rumah, selalu ada cerita-cerita lama yang entah kenapa kembali terdengar.

“Kek, aku dengar ada cerita tentang truk yang mengantar semen ke tempat yang salah dan kemudian hilang. Apa Kakek tahu tentang itu?” tanyaku. Suasana mendadak terasa hening, seperti seluruh rumah menunggu jawaban Kakek. 

Angin sore mengayun pelan gorden jendela, membuat suara gesekannya terdengar seperti bisikan samar.

Kakek menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Itu cerita lama, terjadi di Desa Jungsemi, yang juga berada di Kecamatan Kangkung. Seorang sopir truk bernama Pak Surya menerima pesanan untuk mengantar semen ke proyek pembangunan masjid di desa itu,” katanya sambil menghela napas pelan. “Dulu sebelum kejadian itu, banyak warga sering melihat sosok perempuan berbaju putih berdiri di tengah jalan sekitar area tanah wakaf.”

“Namun, saat tiba di lokasi, tempat itu sepi. Tidak ada tanda-tanda pembangunan, hanya tanah kosong dengan papan bertuliskan ‘Tanah Wakaf’. Pak Surya tetap menurunkan semen sesuai instruksi dalam pesanan,” lanjut Kakek. “Ia sempat bilang ke mandor lewat radio komunikasi: ‘Pak, tempatnya aneh. Gak ada tukang atau material lain. Tapi ini alamatnya benar.’ Dan dari seberang radio, suara mandor menjawab, ‘Kalau itu tertulis di dokumen dan cocok dengan titiknya, ya turunkan saja, Surya.’”

“Keesokan harinya, ia kembali untuk memastikan barang telah diterima. Namun, semen itu hilang tanpa jejak. Warga setempat mengatakan bahwa tidak ada pengiriman semen dan proyek masjid pun tidak ada.” Yang lebih aneh, ban truk Pak Surya tidak meninggalkan jejak di tanah sekitar lokasi itu, seolah truknya melayang atau tempat itu tidak benar-benar nyata.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna cerita itu. “Apakah ada penjelasan lebih lanjut tentang kejadian itu, Kek?” Jantungku mulai berdetak lebih cepat, meski aku berusaha tetap tenang, tapi rasa dingin dari lantai ubin naik perlahan ke tengkukku.

Kakek melanjutkan, “Yang membuatnya lebih aneh, nama pemesan dalam dokumen pemesanan adalah Kiai Kasturi, tokoh yang dihormati di desa itu. Namun, Kiai Kasturi telah meninggal beberapa tahun sebelum kejadian tersebut.” Dokumen itu sempat menjadi pembicaraan warga, karena tanda tangan dan tulisan tangannya terlihat sangat mirip dengan milik almarhum. “Sebelum meninggal, beliau pernah berkata, ‘Kalau nanti aku tak ada, pembangunan itu tetap akan berjalan. Tapi yang datang pertama harus orang yang tidak ragu.’”

“Beberapa hari setelah kejadian, warga melihat truk tua berwarna hijau kusam terparkir di dekat pantai. Tidak ada sopir, dan di pintunya terdapat tulisan dengan jari: ‘Aku sudah sampai. Tapi tak ada yang menerima. Bolehkah aku pulang?’ Sebelum ada yang sempat mendekat, truk itu mundur perlahan ke arah laut dan menghilang di balik kabut.” Setelah itu, tak ada yang pernah melihat truk itu lagi.

Kakek lalu menatapku dalam-dalam. “Itu bukan satu-satunya kejadian aneh. Beberapa tahun lalu, seorang anak kecil dari desa sebelah hilang saat bermain. Dicari berhari-hari, bahkan dibantu polisi, tapi tak ditemukan. Seminggu kemudian, anak itu muncul di bibir Pantai Indah Kemangi… diam dan bingung, tapi sehat. Ia bilang hanya ‘bermain dengan kakek berjubah putih di bawah pohon besar’, padahal tak ada pohon di situ.” Dalam gambar sketsa yang ia buat setelahnya, pohon itu menjulang di langit malam, dikelilingi kendaraan berkarat dan kabut hitam.

Aku merinding. “Apakah cerita seperti itu sering terjadi, Kek?” Ruang tamu mendadak terasa lebih gelap dari biasanya, padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam. Kakek mengangguk pelan, lalu berkata, “Dulu warga sering melihat cahaya seperti lampu truk menyala sendiri di tengah malam. Tapi waktu didekati, tak ada kendaraan apa pun di sana.”

 Kakek melanjutkan, “Ada juga seorang pemuda yang menghilang saat bersepeda pagi. Dua minggu kemudian ditemukan berjalan di dekat pantai itu dengan pakaian basah kuyup, tanpa ingatan apa pun. Ia hanya mengulang kalimat, ‘Aku harus pulang. Mereka sudah cukup baik padaku.'” Setelah beberapa hari, pemuda itu mulai bisa beraktivitas kembali seperti biasa. Tapi sejak saat itu, ia enggan bicara soal pantai, dan tidak pernah ke sana lagi.

Kini, kawasan itu telah berubah menjadi lokasi wisata yang cukup populer di daerah pesisir Kendal. Pantai Indah Kemangi dipenuhi gazebo, warung makan, wahana bermain anak, dan pengunjung dari berbagai daerah. Setiap akhir pekan, tawa anak-anak dan suara musik dari pedagang keliling memenuhi udara. Sekilas, tempat ini tampak seperti pantai biasa yang penuh kehidupan, jauh dari cerita-cerita lama yang pernah menyelimutinya.(*)

  Salwa Chintia